Paling ideal adalah motif untuk benarbenar memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Tujuannya untuk menciptakan masyarakat yang berdaya dan mandiri.
Banyak pihak di Indonesia yang kini mulai mengenal konsep dan wacana tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Ini tentu menggembirakan. Namun di sisi lain, pandangan dan paradigma tentang CSR juga masih beragam. Banyak diantara paradigma tersebut yang keliru sehingga perlu diluruskan. Salah satunya paradigma yang menganggap CSR sebagai biaya (costs). Pandangan tersebut, kata akademisi dari Universita Trisakti Jakarta, Elizabeth G Ananto PhD, harus dirubah. Sebab CSR itu sejatinya bukan cost namun investasi.
Jika menganggap sebagai elemen costs, maka ketika perusahaan mengeluarkan dana untuk CSR, mereka mengharapkan dana tersebut akan kembali. "Paradigma yang menganggap CSR sebagai biaya adalah salah dan harus diluruskan," katanya kepada wartawan, pekan lalu di Jakarta.
Meunurt Elga, panggilan akrab Elizabeth G Ananto, untuk merubah paradigma itu maka perlu dibuat strategi baru. Yaitu dengan menerapkan strategic corporate citizenship and responsible corporation (SCCRC). Paradigma itu sudah berkembang pesat di Negara-negara maju. Dengan strategic corporate citizenship maka perusahaan diimbau untuk lebih peduli pada masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Mereka tidak dipaksa untuk memiliki kepedulian itu namun diimbau dan diajak. Jadi sifatnya lebih persuasif.
Sementara itu, responsible corporation berarti perusahaan memiliki tanggung jawab atas berbagai masalah yang timbul akibat operasionalisasinya. Dampak negatif itu sudah dipikirkan dan diantisipasi sedemikian rupa pada saat perusahaan akan beroperasi.
Misalnya, jika operasional perusahaan berada di sekitar areal persawahan, maka limbah yang dihasilkan tidak akan mencemari sawah milik petani. Jika operasional perusahaan menimbulkan suara bising dan ketikdaknyamanan bagi masyarakat di sekitarnya, maka diupayakan cara-cara mengatasinya.
"Jadi dampak apa saja yang ditimbulkan operasional perusahaan, mereka bertanggung jawab. Paradigma CSR seperti ini sudah berlaku di negara-negara maju. Sedangkan di Indonesia, CSR masih dianggap sebagai komponen biaya dan bentuknya seperti pemberian bantuan atau sumbangan," ujar ketua program magister manajemen komunikasi Universitas Trisakti itu.
Untuk menyamakan persepsi tentang itu, maka pihaknya akan membahas topik tersebut secara khusus pada Public Relation Week, 27 - 29 Mei mendatang. Tema sentral yang akan diangkat adalah merubah biaya menjadi investasi melalui perusahaan yang berpihak kepada kepentingan publik. Acara ini hasil kerjasama MM Komunikasi Universitas Trisakti, Perhimpunan Hubungan Masyarakat (Perhumas), dan Asosiasi Perusahaan Public Relation Indonesia (APPRI).
Pelaporan CSR
Paradigma CSR lainnya yang salah dan masih banyak dipegang oleh kalangan perusahaan di Indonesia adalah tentang pelaporan kegiatan CSR dan fungsi public relation (PR).
Praktisi PR senior, Ridwan Nyak Baik, mengatakan, fungsi PR dalam kaitan dengan pelaporan kegiatan CSR kepada publik selama ini masih sekadar untuk mendapatkan pencitraan yang baik saja. Ini dilakukan dengan sekadar memasang iklan atau advertorial di media massa.
Fungsi PR dan pelaporan yang semacam ini, katanya, masih bersifat ortodok. Padahal fungsi PR bisa lebih strategis dari itu. "Pelaporan kegiatan CSR sebenarnya ada yang lebih strategis. Yaitu dengan mengundang media massa untuk melihat langsung kegiatan CSR dan hasil yang telah dicapai. Selanjutnya biarkan media massa menulis dan memotret kegiatan CSR tersebut sesuai dengan frame mereka," papar Ridwan.
Diakui Ridawan, ada banyak motif dari perusahaan ketika melakukan kegiatan CSR nya. Diantaranya karena belas kasihan semata yang diwujudkan dengan pemberian sedikit rezeki kepada masyarakat, external drive dengan tujuan agar perusahaan tidak didemo oleh masyarakat, serta untuk sekadar promosi atau iklan.
Namun yang paling ideal adalah motif untuk benar-benar memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Tujuannya untuk menciptakan masyarakat yang berdaya dan mandiri. "Landasan idiilnya adalah pelaksanaan prinsip good corporate governance sebagai nilai-nilai baru dalam bisnis, yang meliputi akuntabilitas, transparansi, fairness, dan responsibilitas atau tanggung jawab," jelas Ridwan.
Sedangkan menurut Elga, ada lima pilar utama kegiatan CSR berdasarkan rujukan dari International Public Relations Association (IPRA). Yaitu kepatuhan pada etika, kepatuhan pada hukum yang mengharuskan adanya kerjasama internasional, dan kepedulian pada karyawan. Soal kepedulian pada karyawan ini menjadi hal yang penting. Yang terjadi selama ini, banyak perusahaan yang memotong gaji karyawan untuk diberikan sebagai sumbangan atau bantuan. Hal ini kurang tepat, karena menjadi sebuah keharusan bagi karyawan.
Pilar berikutnya adalah kepedulian kepada masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Kalau kelima pilar itu dilaksanakan, maka kegiatan CSR bisa berdampak positif. "Untuk mengukur apakah sebuah program CSR bisa berdampak secara efektif atau tidak, perlu ada penelitian dengan menggunakan ukuran-ukuran yang jelas," katanya.
Terkait dengan pelaporan CSR, Elga menyatakan, selama ini banyak perusahaan yang hanya sekadar melaporkan peristiwa. Padahal yang terpenting adalah bagaimana bisa merubah sikap dari masyarakat selaku target dari program CSR yang dilaksanakan.
"Selama ini kalau ada laporan tentang CSR, biasanya yang berbicara adalah kalangan perusahaan. Harusnya masyarakat lah yang menjadi target program CSR yang lebih banyak berbicara. Menurut saya ini lebih baik dibandingkan jika pihak perusahaan yang banyak bicara," tutur Elga.
Sumber: Republika, 19 Mei 2008, Hal 20
19 Mei 2008
Mengubah Paradigma Tentang CSR
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment